Fenomena Hustle Culture di Kalangan Mahasiswa

Tanggal : 25 Oct 2021

Ditulis oleh : LATANSA NAELAL IZZATI

Disukai oleh : 0 Orang

Sudah tidak asing lagi di telinga kita ketika mendengar kata “mahasiswa”. Mahasiswa merupakan seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Rentang usianya berkisar antara 18 – 25 tahun. Menurut Willis, S (2011) usia 18 sampai 24 tahun merupakan usia dewasa awal. Di rentang usia ini, seseorang mulai melek akan finansial, sehingga menjadikan mereka berlomba-lomba dalam bekerja keras. Fenomena ini disebut dengan hustle culture.

Hustle culture sendiri merupakan fenomena yang baru-baru ini dijumpai di Indonesia. Mengingat Indonesia memasuki periode bonus demografi. Fenomena ini disebut juga dengan workaholism. Workaholism pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oats pada tahun 1971. Hustle culture atau workaholism merupakan gaya hidup baru di kalangan milenial yang menganggap dirinya akan sukses jika terus melakukan pekerjaan dan memiliki sedikit waktu untuk beristirahat.

Trend hustle culture dapat berdampak positif tetapi juga dapat berdampak negatif apabila tidak sesuai dengan porsinya. Ada pun dampak positif dari hustle culture bagi lingkungan kerja, yaitu meningkatkan persaingan yang kompetitif terutama di kalangan generasi muda, sehingga mereka akan mendapatkan banyak pengalaman yang bermanfaat untuk masa depannya.

Tokoh-tokoh dunia seperti Elon Musk, Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan masih banyak lagi yang menyuarakan bekerja keras dan menghabiskan seluruh waktunya untuk meraih kesuksesan. Tanpa dipungkiri, generasi muda saat ini yang sebagian besar didominasi oleh mahasiswa yang memiliki pemikiran kritis mengikuti tokoh-tokoh tersebut untuk meraih kesuksesan.

Hustle culture dapat menjadi toksik dan menimbulkan dampak negatif apabila terus menerus dikerjakan melebihi kapasitasnya, seperti menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk bekerja dan hanya menyisihkan sedikit waktu untuk beristirahat. Hal ini tentu saja sangat berbahaya bagi kesehatan, ditambah lagi adanya kewajiban berkuliah dan mengerjakan tugas bagi mahasiswa.

Dalam sebuah studi pada jurnal Occupational Medicine, orang yang hampir seluruh waktunya digunakan untuk bekerja, baik tua maupun muda cenderung mengalami gangguan kesehatan, seperti gangguan kecemasan, depresi, gangguan tidur, dan lain sebagainya. Selain gangguan kesehatan mental, hustle culture juga berpengaruh pada kesehatan fisik seperti sakit kepala hingga penyakit jantung akibat kelelahan bekerja.

Seperti yang dikutip pada laman Forbes yang menyatakan bahwa 55% pekerja di Amerika Serikat mengalami stres karena presentase pekerjaan yang lebih tinggi 20% dibandingkan dengan angka keseluruhan di dunia. Hustle culture sudah tidak asing bagi penduduk negara adidaya ini. Mereka mulai mengenal hustle culture pada abad 19. Budaya ini ditujukan kepada ras Afrika Amerika yang pada saat itu distereotipkan sebagai ras yang pemalas.

Tanpa dipungkiri, generasi milenial di Indonesia mulai mengikuti budaya ini. Walaupun hustle culture ini bisa dikerjakan di mana saja dan kapan saja, tetapi tidak menutup kemungkinan jika fenomena ini dapat menjadi boomerang bagi yang melakukannya. Ketika otak tidak diberi waktu untuk istirahat dan juga fisik yang terus menerus bekerja, maka yang akan terjadi adalah burnout.

Burnout seringkali terjadi pada siswa maupun mahasiswa. Ketika fisik mengalami kelelahan yang disebabkan oleh tuntutan akademik maupun pekerjaan, maka tubuh akan meresponnya dalam bentuk burnout. Burnout seringkali berakibat pada sikap sinis mahasiswa terhadap tugas-tugas dan merasa tidak kompeten sebagai peserta didik.

Rasa tidak kompeten ini lah yang menyebabkan pesimistik terhadap apa yang sedang ia hadapi sekarang. Scheufeli merumuskan tiga dimensi dalam burnout, yaitu 1) exhaustion, perasaan lelah berlebihan, 2) cynicism, sikap menjauh terhadap hal-hal yang mengacu pada orang lain atau pun perkuliahan, 3) reduce of professional efficacy, peserta didik merasa tidak mampu ketika menghadapi tantangan dalam pencapaian akademik.

Dimensi-dimensi tersebut tentunya akan sangat berakibat fatal apabila seorang mahasiswa mengalaminya. Tanpa didukung oleh lingkungan yang positif, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan pertemanan. Hal ini tentu saja akan berat untuk dikalahkan oleh mahasiswa seorang diri. Jika lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan masih belum bisa memulihkannya dari burnout, maka pertolongan professional sebagai solusinya.

Dampak-dampak yang sudah dijelaskan di atas merupakan salah satu dari banyaknya dampak negatif yang kemungkinan besar terjadi ketika melakukan hustle culture. Bekerja keras tidak sepenuhnya berdampak buruk bagi kehidupan apabila kita mampu mengorganisir kegiatan dan waktu sebaik mungkin. Adapun cara untuk mengatasi hustle culture yaitu bekerja dengan cerdas dan kerja seimbang.

Bekerja dengan tidak kenal waktu istirahat tidak akan ada gunanya dari sisi kualitas pekerjaan atau pun kesehatan. Oleh karena itu, bekerja dengan cerdas akan jauh lebih menguntungkan, baik dari segi kualitas atau pun tenaga yang dikeluarkan. Selain itu, bekerja dengan seimbang juga tidak kalah penting. Pikiran yang kreatif dihasilkan dari pikiran yang segar. Bekerja terus menerus akan menguras kreativitas. Oleh karena itu, mengambil cuti untuk sekedar refreshing sangatlah diperlukan.

Sebagai generasi muda yang cerdas, sudah sepatutnya kita sebagai mahasiswa mampu mengorganisir waktu, pikiran, dan tenaga dengan baik. Jangan sampai kita diperbudak oleh pekerjaan yang tak kenal waktu, sehingga dengan mudahnya kita mengabaikan kesehatan fisik dan metal yang seharusnya digunakan secara optimal untuk kegiatan akademik.

 




POST TERKAIT

POST TEBARU